HUKUM SELAMATAN HARI KE 3,7,40,100,STHUN DN
1000
Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100,
setahun, dan 1000 hari diperbolehkan dalam syari’at Islam. Keterangan diambil dari
kitab “Al-Hawi lil
Fatawi” karya Imam
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب
الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا
يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ أبو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر
بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى
عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا
عنهم تلك الأيام
Artinya:
“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallaah ‘anhu di dalam
kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku
Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan
sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat
kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan
mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan
bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk
orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam
kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah
menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan
kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah
menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus:
Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam
kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup
mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama
hari-hari tersebut.”
Jadi, kesimpulannya amalan-amalan yang umum
dilakukan oleh masyarakat muslim tradisional di Indonesia tersebut sudah ada
landasannya dari kalangan salaf ash-sholih. Dan bukan bid’ah
madzmuumah/dholaalah
Peringatan 3, 7, 20, 40, 100 Hari Orang
Yang Meninggal
Tradisi yang berkembang dikalangan NU, jika
ada orang yang meningal, maka akan diadakan acara tahlilan, do’a, dzikir
fida dan lain sebagainya. Untuk mendo’akan orang yang meningal dan biasanya dibarengi dengan jamuan
makanan sebagai sodaqoh untuk simayit.
Dalil yang digunakan hujjah dalam masalah
ini yaitu sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Hawi li-Al-Fatawi li
as-syuyuti, Juz II, hlm 183
قَالَ طَاوُسِ: اِنَّ اْلمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ
فِىْ قُبُوْرِهِمْ سَْعًا فَكَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ
اْلاَيَّامِ-اِلَى اَنْ قَالَ-عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ قَالَ: يُفْتَنُ رَجُلَانِ
مُؤْمِنٍ وَمُنَافِقٍ فَأَمَّا اْلمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا وَاَمَّا الْمُنَافِقُ
يُفْتَنُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا.
Imam Thawus berkata : seorang yang mati
akan beroleh ujian dari Alloh dalam kuburnya selama tujuh hari. Untuk itu,
sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan sebuah jamuan makan (sedekah)
untuknya selama hari-hari tersebut. Sampai kata-kata: dari sahabat Ubaid Ibn
Umair, dia berkata: seorang mu’min dan seorang munafiq sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur.
Bagi seorang mu’min akan beroleh ujian selama 7 hari, sedang seorang munafik selama
40 hari diwaktu pagi.
Lebih jauh, Imam al-Syuyuti menilai hal
tersebut merupakan perbuatan sunah yang telah dilakukan secara turun temurun
sejak masa sahabat.
Kesunnahan memberikan sedekah makanan
selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman
imam as-Syuyuti, abad x Hijriyah) di mekah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan
itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi Muhammad SAW sampai
sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari Ulama Salaf sejak generasi pertama
(masa Sahabat Nabi Muhammad SAW).”
Selanjutnya dalam Hujjah Ahlussunnh Wal
jama’ah, juz 1
hlm. 37 dikatakan:
قَوْلُهُ-كَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ-مِنْ بَابِ
قَوْلِ التَّابِعِي كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ-وَفِيْهِ قَوْلَانِ لِاَهْلِ الْحَدِيْثِ
وَاْلاُصُوْلِ أَحَدُهُمَا اَنَّهُ اَيْضًا مِنْ بَابِ اْلمَرْفُوْعِ وَأَنَّ مَعْنَاهُ:
كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُوْنَ فِى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عَلَيْهِ.
(Kata-kata Imam thawus), pada bab tentang
kata-kata Tabi’in, mereka melaksanakannya. Dalam hal ini ada dua pendapat: pendapat
ahli Hadis dan Ahli Ushul yang salah satunya termasuk hadis Marfu’ maksudnya
orang-orang dizaman Nabi melaksanakan hal itu, Nabi sendiri tahu dan
menyetujuinya.
Dalam kitab Nihayah al-Zain, Juz I, halaman
281 juga disebutkan:
وَالتَّصَدُّقُ عَنِ اْلمَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍّ
مَطْلُوْبٌ وَلَا يُتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ فِيْ سَبْعَةِ اَيَّامٍ اَوْ اَكْثَرَ اَوْ
اَقَلَّ وَتَقْيِيْدُهُ بِبَعْضِ اْلاَيَّامِ مِنَ اْلعَوَائِدِ فَقَطْ كَمَا اَفْتَى
بِذَلِكَ السَّيِّدِ اَحْمَدء دَحْلَانِ وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّصَدُّقِ
عَنِ اْلمَيِّتِ فِي ثَالِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِي سَابِعٍ وَفِيْ تَمَامِ اْلعِشْرِيْنَ
وَفِي اْلاَرْبَعِيْنَ وَفِي الِمأَةِ وَبِذَلِكَ يُفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلًا فِي
اْلمَوْتِ كَمَا اَفَادَهُ شَيْخَنَا يُوْسُفُ السُنْبُلَاوِيْنِيْ.
Di anjurkan oleh syara’ shodaqoh
bagi mayit,dan shodaqoh itu tidak di tentukan pada hari ke tujuh sebelumnya
maupun sesudahnya.sesungguhnya pelaksanaan shodaqoh pada hari-hari tertentu itu
cuma sebagai kebiasaan (adat) saja,sebagaimana fatwa Sayid Akhmad Dahlan yang
mengatakan ”Sungguh telah berlaku dimasyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk
mayit pada hari ketiga dari kematian, hari ketujuh, dua puluh, dan ketika genap
empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada
hari kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Yusuf Al-Sumbulawini.
Adapun istilah 7 “tujuh hari” dalam acara tahlil bagi orang yang
sudah meninggal, hal ini sesuai dengan amal yang dicontohkan sahabat Nabi SAW.
Imam Ahmad bin Hanbal RA berkata dalam kitab Al-Zuhd, sebagaimana yang dikutip
oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li Al-Fatawi:
حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا
اْلأَشْجَعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ طَاوُسُ: إِنَّ اْلمَوْتَ يُفْتَنُوْنَ
فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ
اْلأَيَّامِ (الحاوي للفتاوي,ج:۲,ص:۱۷۸)
“Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, “Al-Asyja’i
meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, “Imam Thawus berkata, “Orang yang
meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian
para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal
dunia selama tujuh hari itu” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal 178)
Imam Al-Suyuthi berkata:
أَنَّ سُنَّةَ اْلإِطْعَامِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ
بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى اءلآنَ بِمَكَّةَ وَاْلمَدِيْنَةَ فَالظَّاهِرُ
أَنَّهَا
لمَ ْتَتْرُكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى
اْلآنَ وَأَنَّهُمْ أَخَذُوْهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ (الحاوي
للفتاوي,ج:۲,ص:۱۹۴)
“Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan
kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam Suyuthi, sekitar abad
IX Hijriah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah
ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu
diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat SAW)” (Al-Hawi li
Al-Fatawi, juz II, hal 194)
Dari beberapa dalil diatas dapat disimpulkan
bahwa kebiasaan masyarakat NU tentang penentuan hari dalam peringatan kematian
itu dapat dibenarkan secara syara’
Adapun dalil bahwa pahala shadaqah yang
dihadiahkan kepada mayit itu sampai kepadanya adalah riwayat al-Bukhari dari
Aisyah:
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah Saw.: ‘Ibu saya
telah meninggal, dan aku berprasangka andai dia bisa berbicara pasti dia akan
bersedekah, maka apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya?’ Rasulallah
menjawab: ‘Benar.’”
Sebagian dari pernyataannya tentang acara
selamatan 7 hari yang katanya adalah merupakan salah satu dakwah (ajaran syari’at) umat
Hindu sudah terbantah dengan hadits-hadits di atas. Andai anggapan tersebut
benar adanya, bahwasannya budaya walimah kematian 7 hari, 40 hari dan
sebagainya tersebut adalah bermula dari budaya warisan umat Hindu Jawa,
sebagaimana yang di yakini oleh bebarapa Kyai dan ahli sejarah babat tanah
Jawa, dan di saat ajaran Islam yang di bawa Wali Songo datang, budaya tersebut
sudah terlanjur mendarah daging dengan kultur masyarakat Jawa kala itu.
Kemudian dengan dakwah yang penuh hikmah dan kearifan dari para wali, budaya
yang berisi kemusyrikan tersebut di giring dan di arahkan menjadi budaya yang
benar serta sesuai dengan ajaran Islam, yaitu dengan diganti dengan melakukan
tahlilan, kirim do’a untuk orang yang telah meninggal atau arwah laluhur dan
bersedekah. Maka sebenarnya jika kita kembali membaca sejarah Islam bahwasannya
methode dakwah wali 9 yang mengganti budaya Hindu tersebut dengan ajaran yang
tidak keluar dari tatanan syariat adalah sesuai dengan apa yang di lakukan oleh
Rasulallah yang mengganti budaya Jahiliyyah melumuri kepala bayi yang di
lahirkan dengan darah hewan sembelihan dan diganti dengan melumuri kepala bayi
dengan minyak zakfaron. Apa yang di lakukan Rasulallah tersebut tersirat dalam
sebuah hadits shahih riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, Abu Dawud dalam
Sunan-nya, Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dan al-Baihaqi dalam as-Sunan
al-Kubrayang semuanya di riwayatkan dari shahabat Abu Buraidah al-Aslami
berikut:“Saat kami masih hidup di zaman Jahiliyyah; saat salah satu dari kami
melahirkan seorang bayi, maka kami menyembelih seekor kambing dan kepala bayi
kami lumuri dengan darah kambing tersebut. Namun saat Allah mendatangkan Islam,
kami menyembelih kambing, kami cukur rambut kepala bayi dan kami lumuri
kepalanya dengan minyak zakfaron
Rabo wekasan
Setiap Rabu terakhir bulan Shafar, sebagian
besar kaum Muslimin Nusantara melakukan shalat sunnah memohon kepada Allah SWT
agar dijauhkan dari berbagai malapetaka. Hal ini didasarkan pada keterangan
yang terdapat dalam kitab Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir yang berbunyi begini:
“Sebagian orang-orang yang ma’rifat kepada Allah menyebutkan,
bahwa dalam setiap tahun akan turun tiga ratus dua puluh ribu malapetaka,
semuanya terjadi pada Rabu terakhir bulan Shafar, sehingga hari tersebut
menjadi hari tersulit dalam hari-hari tahun itu. Barangsiapa yang menunaikan
shalat pada hari itu sebanyak 4 raka’at, dalam setiap raka’at membaca al-Fatihah 1 kali, Surat al-Kautsar 17 kali, surat
al-Ikhlash 15 kali dan mu’awwidzatayn 1 kali, lalu berdoa dengan doa berikut ini, maka Allah
akan menjaganya dari semua malapetaka yang turun pada hari tersebut.”
Hari Rabu yang disebutkan dalam keterangan
di atas disebut dengan Rebo Wekasan. Persoalannya, sejauh manakah legitimasi
agama, atau pengakuan agama Islam terhadap Rebo Wekasan seperti dalam
keterangan Kitab Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas? Menjawab pertanyaan
ini, ada beberapa hal yang perlu kita bahasa.
Pertama, pernyataan sebagian orang-orang
yang ma’rifat tersebut, atau dalam kata lain sebagian waliyullah (kekasih
Allah), dalam kacamata agama disebut dengan ilham. Para ulama ushul fiqih
mendefinisikan ilham dengan, pikiran hati yang datang dari Allah. Berkaitan
dengan hal ini, Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama panutan utama kaum Wahabi berkata
dalam al-‘Aqidah al-Wasithiyyah:
ومن أصول أهل السنة : التصديق بكرامات الأولياء
وما يجري الله على أيديهم من خوارق العادات في أنواع العلوم والمكاشفات
“Di antara prinsip Ahlussunnah adalah mempercayai karamah para wali
dan apa yang dijalankan oleh Allah melalui tangan-tangan mereka berupa perkara
yang menyalahi adat dalam berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah.”
Pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah di atas,
mengharuskan kita mengakui adanya berbagai macam ilmu pengetahuan dan
mukasyafah yang diberikan oleh Allah kepada para wali. Dengan demikian, dalam
perspektif agama, ilham maupun mukasyafah sebagian wali Allah di atas tentang
berbagai macam malapetaka yang diturunkan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar,
menemukan legitimasinya dalam akidah Islam.
Kedua, mayoritas ulama berpendapat bahwa
ilham tidak dapat menjadi dasar hukum Islam (wajib, sunnah, makruh, mubah dan
haram). Ilham yang dikemukakan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas,
tidak dalam rangka menghukumi sesuatu dalam perspektif Islam. Ilham di atas
hanya informasi perkara ghaib tentang turunnya malapetaka pada hari Rabu
terakhir di bulan Shafar. Dengan demikian, ilham tersebut tidak berkaitan dengan
hukum, tetapi berkaitan dengan informasi perkara ghaib yang biasa terjadi
kepada para wali Allah, seperti dikemukakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah di atas.
Ketiga, dalam ilmu tashawuf, ilham maupun
mukasyafah seorang wali tidak boleh dipercaya dan diamalkan, sebelum
dikomparasikan dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah. Apabila ilham dan
mukasyafah tersebut sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka dipastikan
benar. Akan tetapi apabila ilham dan mukasyafah tersebut bertentangan dengan
al-Qur’an dan Sunnah,
maka itu jelas salah dan harus ditinggalkan jauh-jauh. Kaitannya dengan ilham
atau mukasyafah Rebo Wekasan yang diterangkan dalam Mujarrabat al-Dairabi
al-Kabir di atas, ada dasar yang menguatkannya. Rasulullah saw bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ
النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ
مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي. (الإمام
الحافظ جلال الدين السيوطي، الجامع الصغير في أحاديث البشير النذير، ١/٤، والحافظ أحمد
بن الصديق الغماري، المداوي لعلل الجامع الصغير وشرحي المناوي، ١/۲٣).
“Dari Ibn Abbas RA, Nabi SAW bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah
hari terjadinya sial terus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khathib
al-Baghdadi. (Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan
al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir
wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).
Hadits di atas kedudukannya dha’if (lemah).
Tetapi meskipun hadits tersebut lemah, posisinya tidak dalam menjelaskan suatu
hukum, tetapi berkaitan dengan bab targhib dan tarhib (anjuran dan peringatan),
yang disepakati otoritasnya di kalangan ahli hadits sejak generasi salaf.
Ingat, bahwa yang menolak otoritas hadits dha’if secara mutlak, bukan ulama ahli
hadits, akan tetapi kaum Wahabi abad modern yang dipelopori oleh Syaikh
al-Albani.
Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa hari
Rabu terakhir dalam setiap bulan adalah hari datangnya sial terus.
Keempat, berkaitan dengan bulan Shafar,
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya sebagai berikut ini:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ
رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ.
رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada
penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan Shafar. Tidak
ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim).
Dalam menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam hadits
di atas, al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan
murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata sebagai berikut:
أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ
كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ، وَهَذَا حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ عَمَّنْ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا
الْقَوْلَ أَشْبَهُ اْلأَقْوَالِ، وَ كَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر،
وَ رُبَّمَا يَنْهَى عَنِ السَّفَرِ فِيْهِ، وَ التَّشَاؤُمُ بِصَفَر هُوَ مِنْ جِنْسِ
الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي،
لطائف المعارف، ص/١٤٨).
“Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial
dengan bulan Shafar. Mereka berkata, Shafar adalah bulan sial. Maka Nabi SAW
membatalkan hal tersebut. Pendapat ini diceritakan oleh Abu Dawud dari Muhammad
bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya berpendapat demikian.
Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini
datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan
itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah
(meyakini adanya pertanda buruk) yang dilarang.” (Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab
al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).
Kelima, dalam hadits sebelumnya dinyatakan
bahwa, Rabu terakhir setiap bulan adalah hari datangnya sial. Sementara dalam
hadits berikutnya, membatalkan tradisi Jahiliyah yang merasa memperoleh
ketidakberuntungan pada bulan Shafar. Dari sini, Rabu terakhir di bulan Shafar
disebut dengan Rebo Wekasan. Hal ini agaknya melegitimasi ilham atau mukasyafah
sebagian wali Allah di atas tentang turunnya berbagai malapetaka di bulan
Shafar.
Keenam, terkait dengan amaliah shalat 4
rakaat di atas bagaimana posisi hukumnya? Secara fiqih, shalat tersebut tidak
mungkin dikatakan sebagai Shalat Sunnat Rebo Wekasan, karena dalilnya tidak
ada. Tetapi melakukan shalat tersebut, tentunya boleh-boleh saja, dengan
harapan terhindari dari berbagai malapetaka. Dalam konteks ini al-Imam
al-Hafizh al-Hujjah Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid
terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitabnya, Lathaif al-Ma’arif:
وَالْبَحْثُ عَنْ أَسْبَابِ الشَّرِّ مِنَ النَّظَرِ
فِي النُّجُوْمِ وَنَحْوِهَا مِنَ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا، وَالْبَاحِثُوْنَ
عَنْ ذَلِكَ غَالِبًا لَا يَشْتَغِلُوْنَ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلَاءَ مِنَ الطَّاعَاتِ،
بَلْ يَأْمُرُوْنَ بِلُزُوْمِ الْمَنْزِلِ وَتَرْكِ الْحَرَكَةِ، وَهَذَا لاَ يَمْنَعُ
نُفُوْذَ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَشْتَغِلُ بِالْمَعَاصِيْ، وَهَذَا
مِمَّا يُقَوِّيْ وُقُوْعَ الْبَلاَءِ وَنُفُوْذَهُ، وَالَّذِيْ جَاءَتْ بِهِ الشَّرِيْعَةُ
هُوَ تَرْكُ الْبَحْثِ عَنْ ذَلِكَ وَاْلإِعْرَاضُ عَنْهُ وَاْلإِشْتِغَالُ بِمَا يَدْفَعُ
الْبَلاَءَ مِنَ الدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ وَالصَّدَقَةِ وَتَحْقِيْقِ التَّوَكُّلِ عَلَى
اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاْلإِيْمَانِ بِقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ. (الإمام الحافظ الحجة
زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٣).
“Meneliti sebab-sebab keburukan seperti melihat perbintangan dan
semacamnya termasuk thiyarah yang dilarang. Orang-orang yang meneliti hal
tersebut biasanya tidak menyibukkan diri dengan amal-amal baik yang dapat
menolak balak, bahkan mereka memerintahkan agar tidak meninggalkan rumah dan
tidak bekerja. Ini jelas tidak mencegah terjadinya keputusan dan ketentuan
Allah. Di antara mereka ada yang menyibukkan dirinya dengan perbuatan maksiat.
Hal ini jelas memperkuat terjadinya malapetaka. Ajaran yang dibawa oleh syari’at adalah
tidak meneliti hal tersebut, berpaling darinya, dan menyibukkan diri dengan
amal-amal yang dapat menolak balak seperti berdoa, berdzikir, bersedekah,
memantapkan tawakal kepada Allah SWT dan beriman kepada keputusan dan ketentuan
Allah SWT.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 143). Wallahu a’lam.
Aplikasi Struktur Nama
BalasHapusAplikasi Yang Mirip ARKAND SCS (Secret Codes Site).
Dulu Bernama Software Cek Struktur Nama Aplikasi Yang Mirip ARKAND SCS (Secret Codes Site)
Aplikasi Struktur Nama Memiliki Fungsi Dan Kegunaan Yang Mirip Dengan ARKAND SCS (Secret Codes Site).
Seperti Harani, Synchronicity, Coherence, Synergy, Productive.
Dengan Menggunakan Aplikasi Struktur Nama Bisa Mengukur Tingkat Hoki Dan Keberuntungan Nama Sampai Tingkat Berapa?.
Sehingga Kita Punya Perkiraan Dan Prediksi Dan Ramalan Kesuksesan Hidup Kita.
Menggunakan Aplikasi Struktur Nama, Kita Mengikuti Peribahasa sedia payung sebelum hujan.
Sebagai Tanda Terima Kasih Bisa Memberikan Donasi (Sumbangan) Sebesar Rp. 50.000 Ke
BANK MANDIRI
No. Rek. 1350016214973 atas Nama Rus Sujilasari
Link Download
https://s.id/NewCekNama
Bagaimana Download Di Safelinku
https://s.id/NewNama
Bagaimana Cara Download Atau Unduh File Di getfile.mobi
https://s.id/GetfileMobi
Password Untuk Buka File Winrar
Hubungi Whatsapp 085227746673 (+6285227746673)
(Screenshot/Foto Bukti Donasi)